Kamis, 14 Mei 2009

Memupuk Rasa Percaya Diri

Memupuk Rasa Percaya Diri


Pernahkah anda mengalami krisis kepercayaan diri atau dalam bahasa sehari-hari "tidak pede" dalam menghadapi suatu situasi atau persoalan? Saya yakin hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan diri dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut. Ruang konseling di website inipun banyak diwarnai dengan pertanyaan seputar kasus-kasus yang berhubungan dengan krisis kepercayaan diri tersebut. Sudah tentu, hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan atau pun situasi baru. Individu sering berkata pada diri sendiri, "Dulu saya tidak penakut seperti ini... kenapa sekarang jadi begini?". Ada juga yang berkata: "Kok saya tidak seperti dia yang selalu percaya diri... rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya... saya malu menjadi diri saya!"

Menyikapi kondisi seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita: mengapa rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu. Lalu apakah kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal. Jika memang rasa kurnag percaya diri dapat diperbaiki, langkah-langkah apakah yang harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan saya jawab dalam artikel ini.

Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias "sakti". Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa - karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.

Karakteristik

Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang percaya diri

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah:
• Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
• Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok
• Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain - berani menjadi diri sendiri
• Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
• Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
• Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya
• Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang kurang percaya diri

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:
• Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok.
• Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan.
• Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri - namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri.
• Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif.
• Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil.
• Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri).
• Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu.
• Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain).

Perkembangan Rasa Percaya Diri

Pola Asuh

Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri - seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.

Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri - segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya.

Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau pun penerimaan sosial. Contoh kasus yang riil pernah terjadi di tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima masuk di jurusan A1 (IPA), meski dia sudah bersekolah di tempat yang elit; rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di A1 atau paling tidak A2, agar kelak bisa menjadi dokter. Atau, orangtua yang memaksakan anaknya ikut les ini dan itu, hanya karena anak-anak lainnya pun demikian.

Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir: bahwa untuk bisa diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri - mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar.

Pola Pikir Negatif

Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal. Pola pikir individu yang kurang percaya diri, bercirikan antara lain:
• Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri ("saya harus bisa begini...saya harus bisa begitu"). Ketika gagal, individu tersebut merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
• Cara berpikir totalitas dan dualisme: "kalau saya sampai gagal, berarti saya memang jelek".
• Pesimistik yang futuristik: satu saja kegagalan kecil, individu tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
• Tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism: suka mengkritik diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
• Labeling: mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, seperti "saya memang bodoh...", "saya ditakdirkan untuk jadi orang susah...", dsb.
• Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain: ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
• Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri: senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu langsung merasa menjadi orang tidak berguna.
Memupuk Rasa Percaya Diri

Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangkan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.

1. Evaluasi diri secara obyektif

Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar "kekayaan" pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri. Sadari semua asset-asset berharga Anda dan temukan asset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti : pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.

2. Beri penghargaan yang jujur terhadap diri

Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan; contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri - hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.

3. Positive thinking

Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobody's perfect dan it's okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di re-view kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.

4. Gunakan self-affirmation

Untuk memerangi negative thinking, gunakan self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:
• Saya pasti bisa!!!
• Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya!
• Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan
• Sayalah yang memegang kendali hidup ini
• Saya bangga pada diri sendiri
5. Berani mengambil resiko

Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak perlu menghindari setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.

6. Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan

Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan "beban" seperti itu, bagaimana individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat "cemburu" hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup Anda.

7. Menetapkan tujuan yang realistik

Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya resiko yang tidak diinginkan.

Mungkin masih ada beberapa cara lain yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Jika anda dapat melakukan beberapa hal seperti yang disarankan di atas, niscaya anada akan terbebas dari krisis kepercayaan diri. Namun demikian satu hal perlu diingat baik-baik adalah jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.

Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk "harus" menjadi orang sukses. Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang nyata. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak yang sejak lahir ditanamkan oleh orangtua, bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai, pasti akan menjadi orang sukses, dsb. - namun dalam perjalanan waktu anak itu sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter - memperalat, menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga, nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika semua atribut itu ditanggalkan, maka sang individu tersebut bukan siapa-siapa.

Menangkap Kebahagiaan

Menangkap Kebahagiaan


Pernahkah Anda merasa begitu kecil di tengah dunia yang semakin terlihat gemerlap? Atau, apakah Anda menghela nafas melihat para ABG mengikuti berbagai kontes kecantikan di televisi untuk mendapatkan kekayaan sementara beribu anak lain terlantar di negeri ini? Kesenjangan antara si kaya dan si miskin memang begitu nyata namun menjadi selebritis atau terkenal adalah hak setiap insan. Jika nurani Anda terusik, Anda harus bersyukur masih memiliki rasa itu. Namun jika Anda selalu merasa tidak puas pada apa yang telah dicapai kini, mungkin Anda mengalami deprivasi relatif.

Deprivasi Relatif (Relative Deprivation,selanjutnya disebut RD)

Manusia adalah makhluk sosial di samping juga sebagai pribadi yang unik, psikologi telah meyakinkan dalam berbagai studi bahwa tidak ada satu pun orang yang sama, meski terlahir kembar identik. Sebagai makhluk sosial, siapapun Anda membutuhkan orang lain untuk berbagi, bercanda, bercerita, berdiskusi bahkan bertengkar (it takes two to tango!). Dalam berinteraksi, adalah wajar jika terjadi pembandingan-pembandingan terhadap perbedaan yang ada, itu pula yang akan memacu seseorang untuk berusaha lebih dan lebih lagi. Hal ini dikenal sebagai stres positif atau eustress namun adakalanya Anda mundur dan merasa begitu tersiksa, inilah distress atau stress negatif di mana stressor (pemicu stress) lebih sebagai penghalang bukan tantangan.
Anda mungkin tidak hanya menjadi tertekan atau stres, Anda bisa saja mengalami RD saat apa yang Anda dapat jauh berbeda dengan yang diinginkan. Seperti dinyatakan oleh Gurr & Crosby,

"RD is a perceived discrepancy between an individual's subjective 'value expectations' and 'value capabilities'. Value expectations' denote the goods and conditions to which individu believe they are rightfully entitled; and value capabilities' refers to the goods and conditions of life they think they are capable of attaining."(dalam Walker & Pettigrew,h.4,2003)

Teori ini pertama digagas oleh Stouffer, dkk tahun 1949 dalam terma masyarakat, artinya suatu kelompok masyarakat juga bisa mengalami RD terhadap kelompok lain, masa lalu atau kategori sosial lain. Gurr & Crosby pada tahun 1970 kembali menformulasi dalam terma individu. Jadi RD merupakan suatu kesenjangan yang dialami tidak hanya secara personal namun juga kolektif.

Tidak dapat disalahkan sepenuhnya jika Anda merasa kurang dan kurang, karena dunia semakin mengglobal, konsumerisme semakin merajalela, dunia terasa instan. Televisi juga turut memicu RD, lihat saja berbagai sinetron glamor yang bisa ditonton siapa saja baik di metropolitan atau pelosok desa, sangat mungkin jika seseorang yang awalnya 'damai' dalam kesederhanaan menjadi resah karena tidak memiliki benda mewah.

Lalu bagaimana jika teman Anda menuduh, bahwa itu salah Anda sendiri yang terlalu tinggi berangan-angan? Jangan dulu marah, karena sesungguhnya setiap orang hidup dengan dua motivasi dasar yaitu kebutuhan untuk beradaptasi dan untuk menjadi diri sendiri (aktualisasi diri), menurut Allport (dalam Fiest & Fiest,2002):
People are driven both by the need to adjust and by the tendency to grow or to become more and more self-actualized. Adjustment needs and growth needs exists side by side within the same person. (Allport dalam Fiest & Fiest, h. 420, 2002)

Garin Nugroho juga menyatakan bahwa manusia sesungguhnya akan selalu dihadapkan dengan ciptaan dan penemuan manusia itu sendiri (1998). Jika seminggu yang lalu Anda masih tidak mau memiliki telepon selular karena merasa tidak pernah 'kemana-mana' dan hari ini Anda terpaksa pergi ke kawasan Roxy untuk membeli hp setelah teman dan saudara Anda mengeluh, "Aduuh...dari hp ke telepon rumah kan mahal, kalo ada hp kan tinggal sms aja!", itu salah satu jawaban dari cipta karya anak manusia itu sendiri.

Lalu, apakah kemudian menjadi bahagia adalah harus mahal? Meyers mencoba meyakinkan Anda dalam Psychology Today, menurutnya, usia, ras, atau penghasilan sama sekali bukan petunjuk seseorang bahagia atau tidak. Meski tidak ada satu rumusan pasti, Meyers mencoba memberi beberapa tips:

a. Tidak ada kebahagiaan abadi

Bayangkan suatu saat Anda berhasil mendapatkan bea siswa ke luar negeri setelah empat kali mencoba, senang? Pasti, mungkin Anda akan berteriak girang dan ingin semua orang tahu, tapi yakinlah itu tidak akan terus terjadi, satu atau mungkin dua minggu kemudian perasaan Anda akan kembali seperti sedia kala, masa euforia berakhir juga. Pendapatan penduduk Amerika kini dua kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 1957, tapi apakah tidak ada orang depresi? Tidak juga, bahkan krisis moneter di Indonesia tidak selamanya membuat kita melipat wajah kan? Maka Meyers menyarankan untuk tidak perlu merasa iri pada kekayaan, karena menurutnya,happiness is less a matter of getting what we want than wanting what we have.

b. Nikmati tiap detiknya...

Hampir setiap orang berlomba untuk menyiapkan masa depan sebaik-baiknya, bahkan di kota metropolitan ini matahari seringkali 'kalah', mungkin Anda salah satu yang sering berlari sebelum mentari muncul dan kembali ke rumah saat mentari terlelap. Sadarkah bahwa kita seakan-akan tidak hidup di masa kini tapi berharap untuk hidup seperti juga mempersiapkan kebahagiaan, bukankah tidak seharusnya selalu begitu. Kebahagiaan tidak berada nun jauh di sana, coba sejenak tengok bunga mawar di taman depan, atau senyum si kecil yang mengusik Anda kala menyiapkan presentasi, sudahkah Anda merasakannya?

c. Kendalikan waktu

Salah satu cara agar lebih merasa berkuasa adalah dengan mengendalikan waktu Anda. Psikolog dari Universitas Oxford, Michael Argyle mengatakan, "For happy people, time is 'filled and planned', for unhappy people time is unfilled, open and uncommitted; they postpone things and are inefficient". Agar efektif lakukan rencana besar dalam rencana-rencana kecil. Menyusun laporan dalam satu malam mungkin bisa Anda kerjakan tapi pasti lebih membuat lelah, akan lebih ringan jika Anda telah menyiapkan bahan-bahan untuk laporan tiga-empat hari sebelumnya.

d. Berlaku bahagialah

Bisa juga mencoba salah satu prinsip dalam psikologi sosial: We are as likely to act ourselves into a way of thinking as to think ourselves into action. Dalam satu eksperimen, orang yang berpura-pura memiliki percaya diri tinggi ternyata dapat merasa lebih baik, bahkan saat mencoba ekspresi tersenyum.

e. Manfaatkan waktu luang

Adakalanya seseorang merasa tertekan dan stres, di saat lain bisa juga merasa bosan dan tidak bersemangat (underchallanged), di antara keduanya ada zona yang disebut 'flow' (mengalir) oleh Mihaly Csikszentmihalyi, psikolog dari Universitas Chicago. Pada zona ini seseorang merasa tertantang namun tidak terlalu cocok sehingga ia 'tersedot' dan tanpa sadar kehilangan waktunya. Csikszentmihalyi melihat orang menemukan pengalaman menyenangkan dalam zona ini, dan bisa memperpanjang waktu luang. Ironisnya lebih banyak waktu luang yang tersedia untuk begitu saja mengalir. Orang lebih suka menghabiskan waktu di depan layar tv dan biasanya tidak mendapatkan sesuatu yang berguna. Padahal ada banyak yang bisa dilakukan seperti merapikan taman, mengundang teman, main bola dengan si kecil, jalan-jalan sejenak dengan keluarga atau menulis surat pada sahabat lama maka Anda akan lebih mendapatkan kesenangan

f. Olah raga

Beberapa studi menunjukkan erobik dapat mencegah depresi ringan dan kecemasan. Pilihan olah raga bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang, sebab dalam satu survai dilaporkan jika kondisi fisik membaik, orang akan cenderung lebih percaya diri, tidak stres dan lebih bersemangat

g. Cukup istirahat

Resep utama untuk berenergi, salah satunya dengan menjalani hidup dengan tersenyum, karena itu sisihkan waktu untuk tidur dan istirahat yang cukup agar bangun dalam kondisi bugar dan semangat

h. Jalin persahabatan

Tidak ada yang dapat menangkal ketidakbahagiaan dari pada persahabatan yang erat dengan seorang yang benar-benar memperhatikan dan menyayangi Anda. Mereka yang memiliki banyak teman dekat untuk berbagi, bercerita cenderung lebih berbahagia dan sehat. Karenanya Meyers menyarankan bagi yang telah menikah untuk lebih menetapkan hati dan berikan yang terbaik bagi pasangan, dukung dan berbagi dalam cinta maka Anda berdua akan merasa lebih muda

i. Menjaga rohani

Faith doesn't promise immunity from suffering, but it does enable a streghthened walk through valleys of darkness. Semua yang terjadi adalah kehendak-Nya, menjalin hubungan yang erat dengan sang pencipta merupakan sandaran yang menjanjikan, seperti juga dikatakan Meyers di atas bahwa keyakinan tidak berarti Anda bebas dari derita namun keyakinan akan menolong melewati semua itu.

Penutup

Ternyata banyak hal yang bisa membuat kita tersenyum di setiap jengkal kehidupan ini. Penulis pernah membaca satu buku yang menceritakan seseorang yang selama hidupnya merasa akan bahagia jika memiliki A dan setelah mendapatkannya ia kembali akan merasa bahagia jika mendapatkan B, begitu seterusnya sampai akhirnya tertulis di batu nisan, "Telah meninggal seorang yang akan berbahagia". Tentu kita tidak ingin seperti itu, jadi mulailah untuk menemukan kebahagiaan di mana pun dan kapan pun. Penulis pun senang dapat berbagi tips dengan Anda, semoga berguna.

Smile... and the world will smile for you...


SUMBER
Meyers, David G. (1993) Pursuing happiness; where to look, where not to look. Dalam Psychology Today- publication date Jul/Aug 93.

Nugroho, Garin (1998) Kekuasaan dan hiburan. Yogyakarta; Yayasan Bentang Budaya.

Feist, Jess., Feist, Gregory J., (2002) Theories of personality-fifth edition. Boston: McGraw Hill

Walker, Iain., Pettigrew, Thomas F. (2003) Relative deprivation theory: an overview and conceptual critique. Dalam Michael A. Hogg (ed) Social psychology-volume iv:intergroup behavior and social context. London: Sage publication